Latest blog posts

header ads

AI Mengguncang Dunia Seni: Keajaiban, Kekhawatiran, dan Masa Depan Kreativitas




Sejak kecil, banyak seniman tahu bahwa jalan hidup mereka adalah seni. Ini bukan sekadar pilihan, melainkan panggilan jiwa. Namun, di tengah kecintaan yang membara, banyak seniman berjuang untuk bertahan hidup. Ironisnya, kini hasil karya dan gairah mereka berpotensi digunakan untuk menggantikan mereka. Sebuah kenyataan yang "mengejutkan," kata sebagian dari mereka.

Dunia kecerdasan buatan (AI) generatif telah membuka kotak Pandora, memicu decak kagum sekaligus kegelisahan mendalam di komunitas kreatif. Bagaimana teknologi ini mengubah lanskap seni, dan apa taruhannya bagi para seniman?

Babak Pertama: Keajaiban di Ujung Jari

Pertama kali bersentuhan dengan AI generatif, banyak yang merasakan sensasi "gila" dan "mengejutkan." Rasa penasaran langsung membawa mereka ke "lubang kelinci yang dalam," menjelajahi tanpa henti kemampuan AI dalam menciptakan gambar dari imajinasi terliar.

"Anda bisa menjelajahi berbagai ruang, eksplorasi, sudut kamera, karakter yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya," ungkap seorang pengguna. "Mereka bisa menjelajahi semua ruang tak terbatas itu hanya dalam beberapa detik, dan menurut saya itu ajaib."

Potensi ini dilihat sebagai alat baru yang revolusioner. Pertanyaannya, apakah AI akan menjadi sekadar "alat di kotak perkakas" atau justru "menggantikan total" para kreator?

 Harapan vs. Kenyataan – Bukan Ini yang Kami Inginkan

Banyak yang berharap AI akan mengambil alih pekerjaan membosankan—seperti mencuci piring—sehingga manusia bisa lebih banyak berkarya seni. Namun, perkembangan AI, terutama AI generatif dalam beberapa tahun terakhir, bergerak begitu pesat. Gambar, video, hingga musik kini bisa dihasilkan oleh komputer dengan kualitas yang semakin sulit dibedakan dari buatan manusia.

Runway: AI untuk Para Visioner Kreatif
Salah satu pemain di arena ini adalah Runway, startup AI generatif yang berbasis di New York. Didirikan pada tahun 2018 oleh Cristóbal Valenzuela dan rekan-rekannya, Runway bertujuan membangun AI yang disesuaikan untuk para sineas.

"Teknologi ini, ketika diterapkan pada pembuatan film, seni, dan desain... menyediakan cara yang sama sekali baru untuk membuat sesuatu," ujar Valenzuela. "Sangat penting bagi kami melakukannya dengan pola pikir artistik."

Para seniman yang menggunakan Runway mengintegrasikannya ke dalam alur kerja mereka. Misalnya, menggabungkan ilustrasi manual dengan kemampuan Runway untuk menganimasikan, menambahkan gerakan kamera, atau menghidupkan lingkungan.

"Saya sangat suka memasukkan sentuhan manusiawi... Saya akan mengilustrasikan makhluk atau karakter, lalu mencoba menempatkannya di sebuah lingkungan, dan dari sana kami menggunakan Runway untuk bermain-main dan menggerakkan berbagai hal," jelas seorang seniman.

Bayangkan ingin bercerita tapi belum yakin tentang dunianya. Dengan AI, Anda bisa sekejap menjadi astronot di luar angkasa, alien di planet lain, atau pribadi dari era berbeda, lalu melihat bagaimana visual itu bisa mendukung narasi Anda.

Badai Kontroversi – Sisi Gelap Data Pelatihan

Meski sebagian seniman merangkul AI generatif, praktik ini tetap menuai kontroversi panas. Masalah utama berkutat pada data pelatihan.

  • Dari Mana Data Berasal? Banyak yang mempertanyakan asal muasal data yang digunakan untuk melatih model AI generatif.

  • Pelanggaran Hak Intelektual: Prinsip dasar hukum hak kekayaan intelektual (HKI) menyatakan bahwa pencipta memiliki karyanya. Perusahaan AI generatif dituduh mengabaikan ini, mengambil karya orang lain tanpa izin dan kompensasi untuk melatih model mereka.

  • Ketidaktahuan Pengembang: Seringkali, pengembang sendiri tidak tahu persis apa isi kumpulan data raksasa yang mereka "comot" dari internet.

Saat ini, pengumpulan data pelatihan AI masih seperti "Wild Wild West." Seniman yang tidak ingin karyanya digunakan punya beberapa opsi terbatas:

  1. Nightshade: Program yang dapat "mengacak" gambar untuk mengganggu proses pelatihan.

  2. Opt-out: Beberapa perusahaan menawarkan opsi keluar, namun ini membebani seniman yang punya waktu dan sumber daya terbatas.

Masalahnya, "ada machine learning, tapi tidak ada machine forgetting." Model AI tidak bisa begitu saja diminta untuk melupakan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari pelatihannya.

 Arena Hukum – Pertarungan Raksasa Teknologi vs. Seniman

Dalam pertarungan hukum yang sedang berlangsung, perusahaan teknologi berargumen bahwa karya seni yang muncul di internet masuk dalam kategori fair use (penggunaan wajar). Namun, banyak seniman tidak sependapat.

Seorang ilustrator menceritakan bagaimana ia pertama kali melihat AI generatif di linimasanya pada April 2022. Awalnya penasaran, namun kemudian ia sadar bahwa gambar-gambar itu tidak mungkin tercipta dari ketiadaan. Ia menemukan database berisi lebih dari 5 miliar pasangan teks dan gambar yang "disapu" dari internet.

"Termasuk di dalamnya... ada lebih dari 50 lukisan saya. Karena karya saya ada di dataset itu, seseorang bisa menggunakan nama saya sebagai prompt dan... algoritma menentukan untuk menciptakan sesuatu, kutip-tanda kutip, 'bergaya saya.' Ini seperti mesin slot plagiarisme."

Ini terasa seperti pengkhianatan. Seniman membangun karier dengan membagikan karyanya di internet demi pengakuan dan membangun merek. Kini, itikad baik itu dieksploitasi.

Kasus hukum yang aktif menargetkan berbagai medium: gambar, musik, video, hingga teks dari chatbot. Penyelesaiannya bisa memakan waktu bertahun-tahun dan hasilnya mungkin berbeda-beda, menciptakan nuansa baru dalam regulasi AI.

Dua Sisi Koin – Argumen Para Pengembang AI

Sementara proses hukum berjalan lambat, industri AI generatif terus melaju. Mereka berpendapat bahwa teknologinya menyediakan alat kreatif bagi mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses.

"Teknologi membuat sesuatu yang dulunya sangat sulit, mahal, dan tidak dapat diakses menjadi dapat diakses secara luas oleh lebih banyak orang," kata Valenzuela. "Kita berada di awal perubahan... orang-orang menyadari bahwa mereka dapat melakukan apa yang sebelumnya hanya bisa dilakukan studio Hollywood."

Kesalahpahaman umum adalah model AI bertindak sebagai database. Menurut pengembang, model ini menciptakan konten baru, layaknya seorang siswa yang belajar dari dunia lalu menciptakan sesuatu yang orisinal.

"AI akan menciptakan bentuk seni baru, media baru... Kamera mengubah cara pelukis melihat dunia. AI akan mengubah cara kita bercerita... ini lebih tentang transformasi berkelanjutan, yang menurut saya adalah peran seni."

Menjaga Kemanusiaan di Era Sintetis – Panggilan untuk Regulasi dan Kesadaran

Di tengah lautan konten sintetis, kebutuhan akan regulasi menjadi mendesak.

  • Kita perlu bisa membedakan mana buatan manusia dan mana buatan AI.

  • Kita ingin tahu ke mana uang kita pergi, apa yang nyata, dan mana berita palsu.

Bagi seniman yang menggunakan AI, menjaga "sentuhan manusiawi" menjadi sangat penting.

"Mempertahankan kemanusiaan dalam menggunakan hal ini selalu penting secara umum saat Anda berkreasi," tegas seorang seniman.

Pertaruhan Masa Depan Seni (dan Kemanusiaan Kita)

Inti masalahnya adalah: dengan mengambil karya seniman tanpa kompensasi, perusahaan AI semakin mempersulit seniman untuk mencari nafkah.

"Dan coba tebak? Jika Anda melakukan itu, Anda tidak akan punya seniman lagi. Sama seperti perusahaan media yang hampir mati kelaparan... dan kita tidak lagi memiliki ekonomi jurnalisme yang berkembang, dan itu buruk bagi demokrasi. Dunia tanpa seni... itu bukan hanya buruk bagi demokrasi, itu adalah dunia yang tidak diinginkan siapa pun untuk ditinggali."

Perdebatan ini bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang nilai karya, etika, dan masa depan ekspresi manusia. Akankah kita menemukan keseimbangan di mana AI memberdayakan alih-alih menggusur, ataukah kita sedang menuju senja bagi para kreator manusia? Waktu dan pilihan kitalah yang akan menjawab.


Posting Komentar

0 Komentar