Latest blog posts

header ads

AI di Ujung Jari: Berkah atau Bumerang bagi Otak Mahasiswa?


    Semakin banyak mahasiswa yang kini memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu tugas-tugas kuliah mereka. Namun, para peneliti mulai mengkhawatirkan dampak negatif dari ketergantungan terhadap teknologi ini. Sebuah studi dari Microsoft dan Carnegie Mellon yang dirilis pada Februari lalu menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan seseorang pada AI generatif, semakin rendah kemampuan berpikir kritis mereka. Sebaliknya, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik.

Studi ini menjadi salah satu acuan dalam laporan terbaru dari James Walsh, penulis fitur di New York Magazine melalui rubrik "Intelligencer," yang berjudul "Everyone is cheating their way through college." James kini bergabung bersama kami. Terima kasih telah hadir. Artikelnya benar-benar membuka mata, sekaligus agak menyeramkan.

Berikut beberapa contoh penggunaan AI oleh mahasiswa yang dijabarkan James: mencatat selama kelas, membuat panduan belajar, mengerjakan soal latihan, merangkum novel dan buku teks—jadi siapa yang masih butuh SparkNotes? Mereka bahkan menggunakannya untuk menyusun esai, hingga mahasiswa di bidang STEM memanfaatkannya untuk menyelesaikan kode yang rumit.

Lalu, di mana batas antara ‘bantuan wajar’ dan ‘kecurangan’? Menurut James, batas itu sering kali kabur. Mahasiswa kerap kesulitan membedakan mana bagian yang dikerjakan mereka sendiri dan mana yang dikerjakan oleh AI. Apalagi, banyak institusi menyerahkan kebijakan penggunaan AI kepada masing-masing dosen. Akibatnya, aturan terasa lebih seperti pedoman longgar ketimbang peraturan tegas dalam kode etik.

Banyak mahasiswa akhirnya berpikir, "Teman-temanku juga pakai AI, kenapa aku tidak?" Mereka merasa ini adalah alat yang akan selalu mereka gunakan di masa depan, jadi mengapa tidak dimanfaatkan sekarang? Dalam jangka pendek, mungkin tidak ada konsekuensi serius. Tapi dalam jangka panjang, mereka bisa kehilangan proses pembelajaran itu sendiri. Mereka tidak lagi membaca teks atau memahami materi dengan sungguh-sungguh.



Saat ditanya soal dosen, James menjelaskan bahwa para pengajar merasa kewalahan. Memang ada beberapa alat pendeteksi teks buatan AI, namun akurasinya beragam dan sering kali tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Dosen pun berada dalam posisi sulit: selain mengajar, mereka harus menjadi “detektif” untuk membuktikan kecurangan. Sering kali, ketika mereka menduga sebuah teks dibuat oleh AI dan mengonfrontasi mahasiswa, sang mahasiswa bisa dengan mudah menyangkal, karena bukti yang kuat sering kali tidak tersedia.

Lalu, apa dampak jangka panjangnya terhadap generasi muda dan masyarakat luas? Ini masih tahap awal, karena ChatGPT baru diluncurkan pada November 2022. Namun dari studi yang ada, jelas bahwa terlalu mengandalkan AI dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis. Jika kita terus menyerahkan tugas berpikir pada robot, apakah kita sedang menuju masa depan seperti film Wall-E? Semoga tidak. Tapi yang pasti, ketergantungan pada AI adalah isu besar yang perlu dibahas secara serius—terutama di kampus, tempat para pemikir muda dibentuk.


Posting Komentar

0 Komentar